JABAR, Narasibabel.id – Perlindungan terhadap bahasa daerah didasarkan pada amanat Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Dengan ayat itu, negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan bahasanya sebagai bagian dari kebudayaannya masing-masing.
Selain itu, negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Menyoal pernyataan anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin, yang mengkritisi pernyataan Arteria Dahlan yang meminta agar Kejaksaan Agung memecat seorang Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) hanya karena berbicara bahasa Sunda saat rapat, Irjen Pol. (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, MPKN,. mendukung langkah TB Hasanuddin yang menilai pernyataan anggota Komisi III DPR RI itu terlalu berlebihan dan dapat melukai perasaan masyarakat Sunda.
Anton Charliyan berujar, dalam pernyataannya, TB Hasanuddin menilai usulan saudara Arteria yang meminta agar Jaksa Agung memecat seorang Kajati karena menggunakan bahasa Sunda, menurut nya berlebihan, Agak-agak Tendensius dan dapat melukai perasaan masyarakat Sunda.
“Sebagai anggota DPR sebaiknya berhati-hati dalam berucap dan bersikap. Jangan bertingkah arogan, ingat setiap saat rakyat akan mengawasi dan menilai kita.”kata Anton
Anton Charliyan menjelaskan bahwa bahasa daerah sebagai bahasa induk kadang melekat menjadi karakter seseorang, justru yang sekarang terjadi sangat menyedihkan.
Memang, kebebasan yang diberikan UUD 1945 bukan berarti kebebasan yang tanpa pembatasan karena hingga pada batas tertentu pengembangan dan penggunaan bahasa daerah pasti akan berbenturan dengan ketentuan lain.
Namun, saat ini, banyak anak-anak kita di daerah yang justru tidak bisa bahasa asli daerahnya, tapi lancar berbahasa Indonesia, seperti di wilayah Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang yang notabenenya berkebudayaan Sunda, tapi anak-anaknya hampir 90% tidak bisa berbahasa Sunda.
Anton Charliyan, selaku Budayawan mengupas hal ini, “Bagi saya sangat menyedihkan dan memprihatinkan, padahal suku Tionghoa di Singkawang yang datang sekitar 400 tahun yang lalu, sebagai suku minoritas di wilayah tersebut, sampai saat ini mereka masih tetap bisa bahasa nenek moyangnya yaitu Bahasa Ke Dan Tio Chu.” Selasa (18/01/22).
Dalam hal ini justru kita harus belajar kepada mereka dalam hal memelihara budaya dan bahasa, sementara sebagai mana kita ketahui bahwa bahasa merupakan representatif puncak budaya, ciri khas, identitas suatu Suku Bangsa.
Kira-kira ironis tidak jika anak-anak kita nanti mengaku bersuku Minang tapi tidak bisa bahasa Minang, mengaku suku Batak tidak bisa bahasa Batak, bahkan yang saat ini terjadi pada anak-anak kita, bahasa asingnya sangat lancar justru bahasa daerahnya nol.
“Fenomena apa kira-kira jika hal ini terjadi, apakah anak-anak kita bisa dikatakan Nasionalis bila bisa bahasa Indonesia dan Inggris tapi tidak bisa bahasa daerah sebagai bahasa Induk nya, jika hal ini terjadi, justru menurut saya pribadi, kita sudah masuk kepada Darurat Ketahanan Kebudayaan.” Papar Anton Charliyan.
Irjen Pol (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, MPKN menuturkan bahwa sikap Artheria Dahlan dalam pernyataan tersebut tidak sesuai dengan gerak nafas kebijakan PDIP yang senantiasa mengedepankan Budaya.
“Nasionalis perlu, tapi budaya daerah juga harus tetap dijunjung tinggi, pengunaan bahasa daerah di wilayah tempat kerja sudah merupakan hal yang lumrah,
Justru kenapa yang jelas-jelas para pejabat yang sering mengunakan istilah-istilah bahasa asing tidak diusulkan juga untuk di pecat? Penggunaan bahasa asing saya pikir, lebih tidak Nasionalis. Dibanding menggunakan bahasa Daerah ” Paparnya.
Dalam konotasi tidak berarti tidak Nasionalis jika tidak mengunakan Bahasa Indonesia, justru yang sekarang terjadi pada anak kita malah bahasa asing lancar, bahasa daerah tidak bisa. fenomena apa kira-kira bila terjadi hal yang demikian.
Irjen Pol (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, MPKN menuturkan bahwa, untuk keperluan bernegara, memang kebebasan penggunaan bahasa daerah, pengutamaannya itu dapat diwujudkan dalam bentuk pola urutan, ukuran tulisan, atau kemenonjolan tulisan itu.”
“Dalam hal layanan publik, misalnya, bahasa daerah dan bahasa asing dapat menyertai penggunaan bahasa Indonesia dengan tetap mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia.” Terang Anton Charliyan.
Lanjut Anton Charliyan, “Dasar hukum yang melandasi kebijakan penanganan bahasa dan sastra daerah telah telah ditetapkan, baik dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.”
Maka dari itu, sambung Anton, “Keduanya mencerminkan kemauan politik pemerintah yang nyata, tetapi realisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa dan sastra daerah belum optimal.”
Ia menuturkan bahwa, dalam rangka optimalisasi, beberapa provinsi telah melahirkan perda, demikian juga beberapa kementerian. Akan tetapi, optimalisasi upaya pengembangan, pembinaan, dan perlindungan bahasa daerah belum dilakukan dalam batas-batas yang seharusnya.
Anton Charliyan sebagai budayawan mendukung pernyataan politisi PDI Perjuangan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang dipecat dari jabatannya dilatarbelakangi karena yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran pidana berat atau kejahatan yang memalukan.
Pernyataan saudara Arteria ini seolah-olah mengindikasikan bahwa menggunakan bahasa daerah (Sunda) dianggap telah melakukan kejahatan berat dan harus dipecat.
Berpendapat mungkin pada saat rapat ada pembicaraan yang tak resmi sehingga menggunakan bahasa sunda atau bahasa daerah lain.
Anton Charliyan pun menegaskan sebaiknya diingatkan saja, dan tak perlu diusulkan untuk dipecat seperti penjahat saja.” Pungkas Anton Charliyan. (Red)