JAKSA AGUNG RI : Menjatuhkan Sanksi Pidana Secara Tepat Dan Sesuai Porsi Adalah Langkah Bijak Dalam Mengayunkan Pedang Keadilan

Jakarta Selatan, narasibabel.id — Jaksa Agung RI Burhanuddin menjadi Keynote Speaker dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Solusi Advokasi Institute dengan mengambil tema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) Perlu Dipenjara?” secara virtual dari ruang kerja di Gedung Menara Kartika Adhyaksa Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Selasa (8/3/2022).

Jaksa Agung dalam kesempatan nya mengapresiasi kegiatan diskusi publik ini karena dapat menjadi sebuah sumbangsih riil, pemikiran yang berasal dari kalangan akademisi dan praktisi hukum dalam upaya bersama pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan pandemi hukum dan musuh kita bersama yang harus terus diperangi.

Read More

“Oleh karena itu, sayamenyambut dengan baik ketika diminta oleh Bapak Suparji Achmad, selaku Direktur Solusi Advokasi Institute untuk memberikan materi dan pandangan saya dalam usaha mewujudkan Indonesia yang bersih dan anti korupsi,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung menyampaikan saat ini paradigma penegakan hukum telah berubah dari semula untuk mewujudkan keadilan retributif atau pembalasan kini menjadi keadilan restoratif atau pemulihan. Keadilan restoratif menekankan pada keseimbangan antara aturan yang berlaku dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan atau asas kemanfaatan hukum dalam proses peradilan pidana.

Oleh karena itu, dewasa ini setiap proses penegakan hukum yang dilakukan harus dapat memberikan manfaat kepada masyarakat guna mewujudkan keadilan restoratif. Rasa keadilan ini akan muncul di kala kedamaian dan harmoni masyarakat telah terpulihkan, serta pelaku kejahatan dapat diterima kembali di tengah masyarakat. Hal inilah yang menjadi tujuan penegakan keadilan restoratif.

“Untuk mewujudkan keadilan restoratif, Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2020. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 ini adalah regulasi pertama di bawah undang-undang yang menerapkan prinsip restorative justice.

Sejak dikeluarkannya pada tanggal 22 Juli 2020, Kejaksaan mendapatkan respon yang sangat baik dari para akademisi, praktisi, dan tokoh-tokoh nasional. Masyarakat pun menyambut Peraturan Kejaksaan ini dengan antusiasme yang tinggi karena sangat banyak warga yang ingin perkara pidananya diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif oleh Kejaksaan,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan, saat ini Pemberlakuan Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif masih dibatasi, terutama jenis perkara yang melibatkan masayarakat kecil. Namun mengingat tujuan yang hendak dicapai oleh prinsip Keadilan Restoratif yaitu untuk menghadirkan kemanfaatan hukum yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, maka jangkauan ke depan idealnya adalah Peraturan Kejaksaan Keadilan Restoratif ini akan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Hal ini mengingat bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip “keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia”, maka pendekatan ideal dalam keadilan restoratif di masa yang akan datang adalah dengan melihat jenis perkaranya, bukan lagi melihat subyek yang berperkara.

Baca Lainnya  Ketum Partai Nusantara ajak kadernya bersinergi dengan semua partai membangun bangsa

Dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.

Dengan mengingat kejahatan tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah kejahatan finansial, maka menurut hematnya, Jaksa Agung mengatakan bahwa penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial. Adapun pendekatan instrumen finansial yang telah dilakukan selama ini antara lain:

a) Merubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset;

b) Pemiskinan koruptor dengan melakuan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal;

c) Melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

Melalui pendekatan instrumen finansial, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pasca putusan inkracht.

Jaksa Agung menyampaikan, sistem hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang ditegakkan oleh para aparat penegak hukum saat ini masih terpaku pada tindakan represif dalam delik Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Padahal terdapat sekitar 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) bentuk tindak pidana korupsi, dan juga masih terdapat 6 (enam) bentuk perbuatan lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

“Mencermati seluruh bentuk tindak pidana korupsi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua jenis tindak pidana korupsi berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Hal inilah yang patut diingat, dicermati, dan harus kita pahami bersama. Dengan adanya perbedaan jenis tindak pidana korupsi, maka sudah seyogianya mekanisme penerapan hukumnya pun juga harus dilakukan secara berbeda. Tentu tidaklah tepat jika delik yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, kita terapkan proses hukum yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Penegakan hukum harus proporsional dan profesional sebagaimana makna dari simbol timbangan yang menjadi lambang keadilan,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung melanjutkan, terhadap tindak pidana korupsi yang tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara dengan nominal kerugian yang relatif kecil, misalnya di bawah Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah), kiranya patut menjadi bahan diskursus bersama. Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.

Baca Lainnya  Tegas, Jaksa agung RI Ingatkan Kajati, Kajari, Kacabjari Beserta Jajaran di Seluruh Indonesia untuk Tidak Bermain Proyek Di Pemerintahan

“Misalkan tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp2.200.000 (dua juta dua ratus ribu rupiah). Apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi?,” ujar Jaksa Agung.

Jaksa Agung mengatakan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi dari proses penyelidikan sampai dengan eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah perkara tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya tidak sebanding antara biaya operasional dengan hasil tindak pidana korupsi yang diperbuat oleh pelaku, sebagaimana ibarat peribahasa “besar pasak daripada tiang.” Meskipun maraknya kejahatan pungli itu sendiri tentunya sudah sangat meresahkan masyarakat dan dalam rangkaian panjang seringkali berdampak timbulnya biaya ekonomi tinggi pada sektor industri ataupun sektor produksi, namun demikian pemberantasannyapun sedapat mungkin juga tidak menimbulkan beban finansial pada keuangan negara.

“Terlebih semangat yang terkandung dalam rezim pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini adalah pemulihan atau penyelamatan keuangan negara seoptimal mungkin. Ketentuan lain yang perlu dicermati adalah keberlakuan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan yang mana setiap pemeriksaan dan penyelesaian perkara harus dilakukan dengan cara efesien dan efektif,” ujar Jaksa Agung.

Dapat dibayangkan, perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur, terlebih daerah kepulauan yang mana proses pemeriksaan dan persidangannya harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi guna menyidangkan perkara tindak pidana korupsi yang hanya berskala relatif kecil, sehingga biaya operasional yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kerugian negara yang hendak diselamatkan. Dalam hal ini saya justru berpandangan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.

Jaksa Agung mengatakan penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan dan bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penangangan perkara yang dilakukan hanya berada di “level ikan teri” dan dianggap aparat penegak hukum tidak mampu untuk melawan para koruptor dalam skala big fish.

“Di samping itu, hal lain yang perlu dipahami adalah menyamakan kasus korupsi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dengan pencurian Rp5.000.000 (lima juta rupiah). Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara,” ujar Jaksa Agung.

Baca Lainnya  Gubernur Ungkap Strategi Tangani Covid-19 Bersama Tempo.co

Jaksa Agung menyampaikan, pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku yaitu dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara, tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis karena negara justru rugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku hingga masuk ke penjara.

Jika hal ini tetap dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder karena uang negara yang seharusnya dapat disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat, dapat terkuras habis hanya untuk perkara korupsi level “ikan teri”.

Jaksa Agung melanjutkan, untuk pencurian Rp5.000.000 (lima juta rupiah) yang merupakan tindak pidana umum korbannya adalah orang-perorangan. Uang tersebut bisa jadi adalah uang yang sangat banyak bagi banyak orang. Kehilangan uang tersebut dapat membuat korban tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan bahkan tidak dapat membeli makanan. Rasa kehilangan dan kepedihan yang dirasakan oleh korban ini dapat ditangkap dan dirasakan oleh negara, sehingga negara dapat menghukum pelaku pencurian dengan hukuman yang berat dan setimpal, sepanjang korban tidak memaafkan perbuatan pelaku tersebut.

“Saya menyadari jika pemberantasan tindak pidana korupsi haruslah dilakukan di semua lini dan lapisan masyarakat. Namun yang perlu dicatat adalah banyak cara untuk memberantasnya. Para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil, tetap akan kita berikan hukuman yang setimpal,” ujar Jaksa Agung.

Penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraanyang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir. Penerapan asas ultimum remediumdalam beberapa kasus atau delik tertentu sekiranya masih sangat relevan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang. Kita juga dapat memberikan rekomendasi kepada para stake holder terkait untuk memberikan sanksi administrasi kepegawaian, misalnya penundaan pangkat hingga kepemecatan. Di samping itu, bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara.

“Sekali lagi saya menegaskan bahwa sebagai aparat penegak hukum kita harus bertindak secara cermat dalam mendudukan setiap jenis perkara dan tepat dalam memberikan bobot hukuman. Menjatuhkan sanksi pidana secara tepat dan sesuai porsi adalah langkah bijak dalam mengayunkan pedang keadilan,” tegas Jaksa Agung.

Sumber : Kepala Pusat Penerangan Hukum

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *